Posted by Unknown on Kamis, Oktober 22, 2015 | No comments
Teori Keadilan Menurut Hukum
Keadilan dan hukum sangatlah berkaitan
erat, dimana menjadi sebuah harapan bahwa suatu hukum akan mewujudkan sebuah
keadilan. Namun bilamana hukum tidak mengandung sebuah keadilan maka tujuan
hukum itu tidak akan tercapai? Apakah hukum harus dipandang sebagai unsur
konstitutif hukum atau hanya sebagai unsur
regulatif? Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, suatu peraturan yang tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, akan tetapi semata-mata bukan hukum; non hukum. Kalau non hukum, orang tidak terikat akan peraturan yang bersangkutan, dan tindakan balasan tidak sah. Sebaliknya, bila adil merupakan unsur regulatif bagi hukum, suatu peraturan yang tidak adil tetap hukum, walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan (walaupun hanya secara extern berupa sanksi). Maka pertanyaan yang timbul berbunyi : apakah cukuplah adanya suatu peraturan dalam bentuk yuridis yang tepat untuk dapat disebut hukum (richtiges Recht/correct) atau perlu juga peraturan itu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan (gerechtes Recht/just).[1]
regulatif? Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, suatu peraturan yang tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, akan tetapi semata-mata bukan hukum; non hukum. Kalau non hukum, orang tidak terikat akan peraturan yang bersangkutan, dan tindakan balasan tidak sah. Sebaliknya, bila adil merupakan unsur regulatif bagi hukum, suatu peraturan yang tidak adil tetap hukum, walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan (walaupun hanya secara extern berupa sanksi). Maka pertanyaan yang timbul berbunyi : apakah cukuplah adanya suatu peraturan dalam bentuk yuridis yang tepat untuk dapat disebut hukum (richtiges Recht/correct) atau perlu juga peraturan itu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan (gerechtes Recht/just).[1]
Dalam dunia zaman kini secara gobal
terdapat dua pandangan yang kurang lebih sejajar denga dua jenis sistem hukum
yang dianut, yakni sistem hukum kontinental dan sistem hukum anglo-saxon.
Perbedaan antara kedua sistem hukum itu tidak hanya terletak dalam praktek
hukum, melainkan juga dalam tanggapan tentang hukum. Menurut pengertian
tradisional, yang cukup kuat didaratan Eropa, hukum pertama-tama menuju suatu
aturan yang dicita-citakan yang memang telah dirancangkan dalam undang-undang,
akan tetapi belum terwujud dan tidak pernah akan terwujud sepenuhnya. Sesuai
dengan dikotomi ini terdapat dua istilah untuk menandakan hukum:[2]
1.
Hukum
dalam arti keadilan (keadilan=iustitia)
atau ius/recht (dari regere=memimpin).
Maka disini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat,
sebagaimana dicita-citakan.
2.
Hukum
dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu
dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut.
Perbedaan antara kedua istilah memang
nyata: istilah “hukum” mengandung suatu
tuntutan keadilan, istilah ”undang-undang” menandakan norma-norma yang de facto digunakan untuk memenuhi
tuntutan tersebut, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Sudah jelas, bahwa
kata “hukum” sebagai “ius” lebih fundamental daripada kata
“undang-undang’ lex, sebab kata
“hukum” sebagai “ius” menunjukan hukum
dengan keikutsertaan prinsip-prinsip atau asas-asas yang termasuk suatu aturan
yang dikehendaki orang. Menurut pengertian modern yang sebagian besar dianut di
negara-negara anglo saxon hukum harus
ditanggapi secara empiris, yakni semata-mata sebagai tata hukum yang telah
ditentukan: hukum adalah undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Berarti dimana ada undang-undang, disana ada hukum. Inilah sesuai dengan teori
positivisme yang mendekati gejala hidup secara ilmiah belaka, yakni sebagai
fakta, dan tidak mau tahu tentang nilainya. Akibatnya tuntutan keadilan
disingkirkan dari pengertian hukum. Undang-undang yang adil dan tidak adil
dianggap sama kuat sebagai hukum.[3]
Sesuai dengan tanggapan ini dalam bahasa
Inggris terdapat hanya satu istilah untuk menandakan hukum, yakni “law”. Dalam kata “law” itu undang-undang tidak digabungkan dengan cita-cita
keadilan, melainkan dengan kebijaksanaan pemerintah. Maka dalam sistem tersebut
adil merupakan unsur regulatif bagi hukum: bukan unsur konstitutif. Perlu
diperhatikan bahwa untuk hukum subjektif dalam negara-negara yang berbahasa
inggris digunakan “ius”, yakni right. Kata “right” itu menandakan suatu
klaim akan keadilan. Akan tetapi apa
yang dapat diharapkan ialah suatu hukum yang sesuai dengan kebijaksanaan dan
keyakinan orang entah itu cocok dengan prinsip-prinsip abstrak keadilan atau
tidak.[4]
Dalam hal ini, unsur yang
harus dipenuhi untuk mencapai keadilan hukum[5] adalah:
1. Harus
ada ketentuan yang mengatur bagaimana memberlakukan manusia dalam kasus-kasus
tertentu yang dihadapinya;
2.
Ketentuan
hukum tersebut harus jelas sasaran pemberlakuannya. Dalam hal ini mesti ada
ketentuan yang menentukan apakah aturan hukum tersebut berlaku untuk orang
dalam semua kategori atau hanya berlaku untuk kategori orang tertentu saja;
3.
Aturan
hukum tersebut haruslah diterapkan secara tidak memihak dan tanpa diskriminasi
kepada setiap orang yang memenuhi kualifikasi pengaturannya.
Dengan unsur yang harus dicapai untuk
memenuhi keadilan hukum inilah maka menjadi kewajiban hukum untuk mewujudkan
ide dan konsep keadilan yang diterima oleh masyarakat ke dalam bentuk-bentuk
yang kongkret.[6]
Walaupun masih membutuhkan dasar namun perlu diwujudkan dalam bentuk kongkret
agar tidak hanya berhenti pada cakupan ide.
Teori keadilan Aristoteles
Teori keadilan Aristoteles
Hukum yang harus ditaati demi keadilan
dibagi dalam hukum alam dan hukum positif. Hukum alam ditanggapi sebagai suatu
hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan
alam. Hukum alam dibedakan dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung dari
ketentuan manusia. Perumpamaan kedudukan hukum alam dan positif adalah bila
hukum alam menuntut sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan
besarnya sumbangan perorangan ditentukan oleh hukum positif, yakni
undang-undang negara.[7] Artinya Aristoteles
menempatkan keadilan menjadi dasar hukum yang harus ditaati.
Keadilan tidak hanya sebagai sebuah
dasar dan keutamaan umum yang menjadi sebuah ketaatan pada hukum alam dan hukum
positif. Lain sisi, keadilan juga menempati keutamaan moral khusus, yang
menentukan sikap manusia pada bidang tertentu. Sebagai keutamaan khusus,
keadilan itu ditandai oleh sifat-sifat yang berikut[8]:
- Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang yang satu dengan yang lain.
- Keadilan berada ditengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan terciptalah keseimbangan antara dua pihak: jangan orang mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga mengutamakan pihak orang lain.
- Untuk menentukan dimanakah terletak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan : kesamaan ini dihitung secara arismetis atau geometris.
Aristoteles
memaknai keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi
dasar dari peraturan Negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa
yang hak. Oleh karenanya orang yang harus mengendalikan diri dari pleonexia,
yaitu memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dengan cara merebut apa yang
merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan
kepada orang lain. Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan.
Asas ini menghendaki, agar sumber daya didunia ini diberikan atas asas
persamaan kepada anggota masyarakat atau negara.[9] Asas persamaan yang
dimaksud disini adalah berdasarkan hak atas apa yang diusahakan oleh masyarakat
atau negara tersebut.
Kemudian
Aristoteles membicarakan hukum hendaknya menjaga agar pembagian yang demikian
senantiasa terjamin dan dilindungi dari perkosaan-perkosaan terhadapnya.[10] Aristoteles memaknai
keadilan yang mengatur hubungan dengan sesama manusia meliputi bebrapa bidang[11] :
- Terdapat keadilan mengenai pembagian jabatan-jabatan dan harta benda publik. Pembagian ini harus sesuai dengan bakat dan kedudukan orang dalam negara.
- Terdapat keadilan dalam bidang transaksi jual beli. Dalam kontrak jual beli harga barang tergantung dari kedudukan resmi kedua pihak.[12
- Keadilan dalam hukum pidana diukur secara geometris juga
- Terdapat keadilan juga dalam bidang privat yaitu dalam hukum kontrak dan dalam bidang delik privat.
- Terdapat semacam keadilan juga dalam bidang penafsiran hukum, dimana hukum diterapkan pada perkara-perkara yang kongkret. Memang benar bahwa undang-undang selalu bersifat umum, sehingga tidak pernah dapat meliputi semua persoalan yang kongkret. Oleh karena itu Aristoteles tidak pernah mengendaki, agar seorang hakim yang mengambil tindakan in concreto hendaknya mengambil tindakan seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa kongkret yang diadilinya. Dalam menerapkan hukum pada perkara-perkara yang kongkret itu kesamaan geometris atau aritmetis tidak berperan lagi. Apa yang diperlukan adalah epikeia termasuk prinsip-prinsip regulatif, yang memberi pedoman bagi praktek hidup negara menurut hukum.
Adapun
Aristoteles membagi Keadilan menjadi dua yaitu keadilan distributif dan
korektif atau remedial. Kedua jenis keadilan ini tidak mengikuti asas
persamaan, sebagaimana tulisannya yang diterjemahkan “ Harus ada persamaan
dalam bagian yang diterima oleh orang-orang, oleh karena rasio dari yang dibagi
harus sama dengan resiko dari orang-orang yang sama tidak menerima bagian yang
sama, atau orang-orang yang tidak sama menerima bagian yang sama, timbullah
sengketa dan pengaduan.[13]
Distributive justice (keadilan yang membagi) merupakan
keadilan yang memberi petunjuk tentang pembagian baran-barang dan kehormatan
kepada masing-masing orang, menurut tempatnya di masyarakat, keadilan ini
menghendaki perlakuan yang sama terhadap mereka yang sama menurut hukum. Dengan
demikian keadilan “distributive” adalah
keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang bagiannya menurut jasanya. Ia
tidak menuntut supaya tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan
persamaan tetapi kesebandingan yang harus diperhatikan. Keadilan distributive
lebih mengatur kepada hubungan antara masyarakat khususnya negara dan perseorangan tertentu.
Keadilan commutatief (Corretctive
justice) adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya
dengan tak mengingat jasa-jasa perorangan. Keadilan ini memegang peranan dalam
perjanjian “tukar menukar”, pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa dalam
mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Corrective justice lebih menguasai
hubungan antara perorangan.[14] Keadilan Aristoteles pada
akhirnya adalah keadilan yang menitik beratkan pada proporsi atau perimbangan.[15]
Teori
Keadilan Menurut Thomas Aquinas
Thomas Aquinas membedakan keadilan atas
dua kelompok, yaitu keadilan umum (justitia
generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut
kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi keadilan distributif
(justitia distributiva), keadilan komutatif (justitia
commutativa) dan keadilan Vindikatif (justitia vindicativa).[16]
Keadilan distributif ialah suatu
keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau
pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam
hubungan antara masyarakat dengan perseorangan. Disini pengertian keadilan
bukan berarti persamaan melainkan perbandingan. Misalnya, seorang bekerja dapat
upah Rp 20.000,- per jam, maka ia mendapat upah Rp 80.000,- apabila bekerja 4
jam lamanya.
Keadilan komutatif ialah suatu keadilan
yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa memedulikan jasa masing-masing.
Keadilan vindikatif adalah keadilan
dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang
diaggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Keadilan
Menurut Aliran Hukum Positif
Menurut pandangan kaum utilitarianisme, ukuran satu-satunya
untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi
kesejahteraan manusia (human welfare).
Kesejahteraan individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebih besar (general welfare). Adapun apa yang
dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, menurut kaca mata ekonomi. Sebagai
contoh, jika dikalkulasi bahwa dibangunnya suatu jalan tembus yang membelah
taman nasional jauh lebih menguntungkan secara ekonomis dibandingkan dengan
tidak dibangunnya jalan itu, maka dalam kacamata utilitarianisme seharusnya
pemerintah memutuskan untuk membangunnya, kalaupun dengan pembangunan jalan itu
banyak pohon-pohon langka yang akan dibabat dan turut pula akan mengancam
keberadaan hewan-hewan langka yang ada di taman nasional tersebut. Pertimbangan-pertimbangan
demikian sering kali justru mengorbankan keadilan dalam arti yang hakiki,
karena hakikat keadilan itu memang tidak berpatokan pada jumlah manfaat secara
ekonomis.[17]
Teori
Keadilan Menurut Aliran Realisme Hukum
Sementara menurut penganut aliran
Realisme Hukum yang salah satu tokohnya Jhon Rawls. Jhon Rawls (A Theory of
Justice, 1971) berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus
diberikan, itulah yang disebut keadilan.[18] Jhon harus dipegang teguh
dan sekaligus menjadi semangat dasar dari berbagai lembaga sosial dasar suatu
masyarakat. Memperlakukan keadilan sebagai kebajikan utama, berarti memberikan
kesempatan secara adil dan sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta
menikmati harga diri dan martabat manusia tidak bisa diukur dengan kekayaan
ekonomis, sehingga harus dimengerti jauh bahwa keadilan lebih luas melampaui
status ekonomi seseorang. Tinggi dan luhurnya martabat manusia itu ditandai dengan
kebebasan, karena itu juga kebebasan harus mendapatkan prioritas dibandingkan
dengan keuntungan-keuntungan ekonomis yang bisa dicapai seseorang.[19]
Lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa
teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, di mana
prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh
merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan
sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu
menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil
bagi semua orang. Dalam arti ini keadilan bagi Rawls adalah fairness. Maksud
Rawls suatu masyarakat baik seharusnya mampu memperlihatkan diri sebagai sebuah
lembaga kerja sama sosial di mana masing-masing pihak berusaha saling menyumbang dan saling memajukan.
Singkatnya teori keadilan yang memadai adalah teori yang mampu mengakomodasi
sebuah kerja sama sosial yang pada saatnya akan mendukung terbentuknya suatu
masyarakat yang tertib dan teratur.[20]
[1] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta:Kanisius, 1990). Hlm.49
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum,
(Yogyakarta:Kanisius, 1990) Hlm. 50.
[5] Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum. Op.cit…Hlm.118.
[6] Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum……Hlm.
168.
[7] Theo Huijber, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Hlm.29
[8] Ibid
[9] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum…….Hlm
163
[10] Ibid
[11] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Op.Cit. Hlm. 30.
[12] Hal ini menjelasakan bahwa
Aristoteles belum mempunyai pamdangan atas hidup ekonomis berdasarkan harga
barang yang tergantung dari permintaan dan penawaran.
[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum……hlm.
163 dikutip dari Bodenheimer
[15] Herman Bakir, Asas Hukum dan Aspek Galiannya. Hlm.226.
[16] E. Sumaryono, Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas),Yogyakarta:
Kanisius, 2000, hlm. 160.
[17] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hlm. 140
[18] Ibid,
hlm. 142
[19] Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah terhadap Filsafat Politik Jhon Rawls,
Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 22-33.
[20] Ibid,
hlm. 23.
0 komentar:
Posting Komentar