Minggu, 16 Desember 2012

Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Posted by Unknown on Minggu, Desember 16, 2012 | No comments




HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
1.    Tempat hukum internasional dalam tata hukum secara keseluruhan
Persoalan tempat hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu bidang hukum :
“ Hukum Internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Hal ini tidak dapat dielakan apanila kita hendak melihat hukum internasional sebagai perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan, sehingga mempunyai hubungan dengan hukum nasional”
Karena pentingnya hukum nasional masing-masing negara dalam konstelasi politik dunia dewasa ini, dengan sendirinya penting pula persoalan bagaimanakah hubungan antara berbagai hukum nasional itu dengan  hukum internasional.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu:
-       Pandangan yang dinamakan “Voluntarisme” yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara
-       Pandangan yang “obyektivitas” yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara.
Dari pandangan yang berbeda di atas menimbulkan akibat yang berbeda yaitu:
-       Pandangan “Voluntarisme” mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah
-       Pandangan obyektivitas menganggapnya dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum . hal ini erat hubunganya dengan persoalan  hubungan hierarki antara kedua perangkat hukum itu baik masing-masing berdiri sendiri maupun dua perangkat hukum itu merupakan dari satu kesatuan dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.
a.    Aliran Dualisme
Tokoh utama dari aliran ini ialah “Triepel” seorang pemuka aliran positivism dan “Anzilotti” pemuka aliran positivisme dari italia.
Menurut paham dualism, “ daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara”, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.

Alasan terletak atau didasarkan pada kenyataan diantaranya, yaitu :
1.)   Kedua perangkat hukum tersebt yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada “kemauan negara”, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara.
2.)   Berlaianan subyek hukumnya
Subyek hukum nasional dalah orang-perorangan, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional adalah negara.
3.)   Perbedaan dalam strukturnya
Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti, mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam hukum nasional.
4.)   Daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional.

Akibat Pandangan Dualisme ini, antara  lain :
1.)   Kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. (tidak ada persoalan hierarki)
2.)   Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut.
3.)   Ketentuan hukum internasional memerlukan tarnsformasi menjadi hukum nasional.

b.    Paham Aliran Monisme
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.

Akibat pandangan ini:
Ø  Bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini. mungkin ada hubungan hierarki

Persoalan hierarki anatara dua perangkat hukum (hukum nasional dan hukum internasional) ini. melahrkan beberapa sudut pandang yang berbeda dalam aliran monisme. Mengenai hukum manakah yang utama. Ada pihak yang beranggapan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional dan ada pandangan yang sebalinya yaitu bahwa hukum iternasional yang pertama disebut “Paham monisme dengan primat hukum nasional “ dan pandangan yang kedua disebut “ Paham monisme dengan primat hukum internasional”

-       Pandangan monisme dengan primat hukum nasional
Menurut pandangan monisme dengan primat nasional ini, hukum internasional itu tidak lain dari atau merupakan lanjutan hukum nasional atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau “Auszeres Staatsrecht”

Pandangan monisme dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggpa bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional.

Alasan utama anggapan ini ialah ;
1.)   Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia
2.)   Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional

Kelemahan paham monisme ini, ialah :
1.)   Terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis saja, sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional saja.
2.)   Bahwa pada hakikatnya pendirian paham monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional , sebab apabila terikatnya negara pada hukum internasional digantungkan pada hukum nasional. Hal ini sama-sama saja menggantungkan berlakunya hukum internasional itu pada kemauan negara.

-       Paham monisme dengan primat hukum internasional
1.)   Hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional karena hukum ini secara hierarkis lebih tinggi dari hukum nasional
2.)   Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekeuatan mengikatnya berdasarkan “ Pendelegasian  wewenang “ dari hukum internasional
Kelemahan paham monisme ini :
1.)   Pandangan bahwa hukum nasional, itu tergantung kepada hukum internasional (juga kekuatannya ) seolah-olah mendalilkan bahwa hukum internasional telah ada lebih dahulu dari hukum nasional.
2.)   Tidak benar bahwa hukum nasional itu kekeuatan mengikatnya diperoleh dari hukum internasional.




PENERAPAN HUKUM INTERNASIONAL DITINGKAT NASIONAL
Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu negara terkait dengan doktrin “Inkorporasi” dan doktrin “Transformasi’
Doktrin ‘Inkorporasi’ menyatakan bahwa : “Hukum Internasional dapat langsung menjadi bagian hukum nasional”
Misalnya :
Suatu negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warganya tanpa adanya legislasi terlebih dahulu (AS, Inggris, Kanada, Australia, dll)
Doktrin “Transformasi’
Doktrin ini menyatakan sebaliknya; tidak terdapat hukum Internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya transformasi, yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari yang bersangkutan. Dengan kata lain traktat tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional.

1.    Penerapan dalam Praktek
a.    Inggris
Hukum Kebiasaan Internasional
            Praktek di Inggris pada umumnya menunujukan bahwa hukum kebiasaan internasional secara otomatis sebagai bagian dari hukumm nasional Inggris. Pendekatan yang digunakan adalah doktrin “Inkorporasi”
Sepanjang mengenai  Hukum Kebiasaan Internasional dapat dikatakan bahwa doktrin Inkorporasi ini. berlaku dengan dua pengecualian yaitu ;
1.)   Bahwa ketentuan hukum kebiasaan Internasional tidak bertentangan dengan suatu undang-undang baik yang telah berlaku maupun yang diundangkan kemudian. Hal ini berarti bahwa Inggris lebih mendahulukan hukum nasionalnya.
2.)   Sekali ruang lingkup suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional ditetapkan oleh keputusan mahkamah yang tertinggi, maka semua pengadilan terikat oleh keputusan itu sekalipun kemudan dapat terjadi perkembangan suatu ketentuan hukum kebiasaan Internasional yang bersangkutan harus merupakan ketentuan yang umum diterima masyarakat internasional.
Disamping pengecualian di atas, pengadilan di Inggris dalam pesoalan yang menyangkut hukum Internasional “ Terikat” oleh tindakan atau sikap pemerintah (eksekutif) dalam hal :
1.)   Tindakan pemerintah seperti pernyataan perang, perebutan (aneksasi) wilayah atau tindakan nasionalisasi tidak boleh diragukan keabsahannya oleh pengadilan
2.)   Pengadilan terikat untuk mengakui pernyataan pemerintah (wewenang prerogatifnya) misalnya ; pengakuan suatu pemerintah atau negara dan lain sebagainya.
Dalam membahas pengadilan Inggris tidak bisa kita lepaskan dari doktrin  “Preseden” atau “Stare decisis”. Lord Nenning dan Malcoln menyatakan bahwa hukum internasional tidak mengenal apa yang disebut sebagai Stare decisis. Bila hukum kebiasaan internasional mengalami perubahan maka pengadilan dapat menerapkan perubahannya tersebut tanpa menunggu yang dilakukan oleh “ The House of Lord”
Doktrin inkorporasi sangat kuat tertanam pada hukum positif di Inggris. Hal ini terbukti dengan adanya dua dalil yang dipegang teguh oleh pengadilan Inggris yakni:
1.)   Dalil Konstruksi Hukum (Rule of Construction)
Menurut dalil ini UU yang dibuat oleh parlemen harus ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan hukum Internasional. Artinya : dalam mengkaji suatu UU ada anggapan bahwa parlemen tidak berniat melakukan pelanggaran hukum Internasional.
2.)   Dalil tentang pembuktian
Berlainan dengan hukum asing, hukum internasional tidak memerlukan kesaksian para ahli di pengadilan Inggris untuk membuktikannya. Pengadilan di Inggris boleh menetapkan sendiri ada tidaknya suatu ketentuan hukum Internasional, dengan langsung menunjuk pada keputusan mahkamah lain sebagai bukti atau sumber-sumber lain (doktrin) tentang adanya ketentuan hukum Internasional.
                        Perjanjian (traktat) Internasional
                        Mengenai traktat (agreements, traties) dapat dikatakan bahwa pada umumnya perjanjian yang memerlukan persetujuan parlemen , memerlukan pula pengundangan nasional, yang tidak memerlukan persetujuan badan ini dapat mengikat dan berlaku secara langsung setelah penandatanganan dilakukan.
Dalam praktek di Inggris perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan parlemen dan pengundangan nasional bagi berlakunya secara Intern antara lain :
1.)   Yang memerlukan diadakannya perubahan dalam perundang-undangan nasional.
2.)   Yang mengakibatkan perubahan dalam status atau garis batas wilayah negara
3.)   Yang mempengaruhi hak sipil kaula negara Inggris atau memerlukan penambahan wewenang atau kekuasaan pada raja (ratu) Inggris.
4.)   Menambah beban keuangan negara secara langsung atau tidak pada pemerintahan Inggris.

              


                 

0 komentar:

Posting Komentar