Posted by Unknown on Sabtu, Februari 27, 2016 | No comments
Menurut Soenarto Soerodibroto, Herziening adalah Peninjauan Kembali
(PK) terhadap keputusan-keputusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum
pasti yang berisikan pemidanaan, dimana tidak dapat diterapkan terhadap
keputusan dimana tertuduh telah dibebaskan (vrijgerproken).
Definisi lain dikemukakan oleh Andi Hamzah dan Irdan Dahlan bahwa PK, yaitu hak
terpidana untuk meminta memperbaiki
keputusan pengadilan yang telah menjadi
tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian Hakim dalam menjatuhkan putusannya.[1]
Menurut Hadari Djenawi Tahir, Lembaga Herziening
di dalam hukum juga diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur tentang
tata cara untuk melakukan PK suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.[2]
Menurut J.C.T. Simorangkir bahwa herziening adalah PK terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ; revisi.[3]
Sedangkan menurut Adami Chazawi, PK dalam perkara pidana merupakan upaya
pengembalian keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas negara secara
tidak sah, bentuk pertanggungjawaban negara pada terpidana dan wujud penebusan
dosa negara pada terpidana atas kesalahan negara yang telah merampas keadilan
dan hak-haknya secara tidak sah.[4]
Rumusan-rumusan pengertian
tersebut hampir sama dengan rumusan ketentuan pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Ditinjau
dari unsur yang menyertai ketentuan pada Pasal 263 (1) KUHAP tersebut, landasan
untuk dapat mengajukan PK dalam perkara pidana telah diatur secara kokoh dalam
satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu ; 1) permohonan permintaan PK dapat
diajukan hanya terhadap putusan pemidanaan saja; 2) permohonan permintaan PK
dapat diajukan hanya terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap; 3) permohonan permintaan PK dapat diajukan hanya oleh terpidana atau
ahli warisnya saja.
Peninjauan
Kembali sebagai upaya hukum
Menurut Arief Sidharta, Republik
Indonesia mempunyai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai dalam
penyusunan ketentuan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni Pancasila. Yang
dapat juga disebut dengan pandangan hidup kekeluargaan.[5]
Selanjutnya, tujuan hukum adalah untuk mengayomi secara aktif artinya meliputi
upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan
diri secara terus-menerus. Jadi, antara Pancasila dan Tujuan Hukum dapat
menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sehingga memungkinkan proses sosial
berlangsung secara wajar, di mana setiap manusia mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan secara utuh.[6]
Sifat dari upaya hukum adalah perkara
diperiksa ulang (judex factie) sedangkan
maksud dari upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan. PK dalam hal ini adalah upaya hukum luar biasa
setelah upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi. Menurut pandangan doktrina
dari Djoko Prakoso, upaya hukum pada pokoknya bertujuan : i) diperolehnya
kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operation yustitie), ii) melindungi tersangka terhadap
tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari Hakim, iii) memperbaiki
kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan, dan iv) usaha dari para pihak
baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru (novum).[7]
“…..the final judgement of conviction or sentence on
the grounds that:
(a) New evidence has been discovered that: (i) Was
not available at the time of trial, and such unavailability was not wholly or
partially attributable to the party making application; and (ii) Is
sufficiently important that had it been proved at trial it would have been
likely to have resulted in a different verdict;
(b) It has been newly discovered that decisive
evidence, taken into account at trial and upon which the conviction depends,
was false, forged or falsified; (c) One or more of the judges who
participated in conviction or confirmation of the charges has committed, in
that case, an act of serious misconduct or serious breach of duty of sufficient
gravity to justify the removal of that judge or those judges from office under
article 46.[8]
Dengan tegas menggariskan untuk
membuka Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terhadap
suatu perkara yang sudah diputuskan oleh Hakim. Tetapi harus didukung dengan ;
a.)
bukti
baru telah ada (new evidence has been discovered); (i) tidak tersedia
saat sidang (not available at the time of trial), dan tidak tersedia
seluruhnya (such unavailability was not wholly) atau sebagian (partially
attributable);
b.)
baru
menemukan bukti yang menentukan (discovered that decisive evidence)
keyakinan dalam pengadilan itu mungkin palsu, palsu atau dipalsukan (the
conviction depends, was false, forged or falsified); dan
c.) tindakan pelanggaran atau
pelanggaran serius terhadap tugas sebagai Hakim cukup untuk membenarkan
penghapusan keputusan Hakim (an act of
serious misconduct or serious breach of duty of sufficient gravity to justify
the removal of that judge).
Menurut
Osman Simanjuntak, Peninjauan Kembali dikategorikan sebagai upaya hukum luar
biasa karena keistimewaannya, yaitu ; sarana yang dipergunakan untuk membuka
kembali (mengungkit) suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Perlunya diperhatikan kalau dalam putusan itu jelas terlihat ada
ketidak-adilan. Bagaimana jika ada novum setelah keputusan dibacakan? Atau
Hakim melakukan kesalahan/kekeliruan? Atau ada putusan diantara peradilan yang
kontradiktif.[9]
Jika membicarakan tentang maksud dan
tujuan pemberlakuan PK maka hakikatnya bisa dikaitkan pada filosofi peradilan,
ialah memberi nilai yang adil. Keadilan ialah terciptanya suatu suasana damai
di kalangan masyarakat.[10] Dan keadilan adalah hak
semua orang dan tidak dikecualikan dari hal-hal apapun sebagai bagian dari hak
dasar yang tidak boleh diganggu.[11] Menggapai suatu keadilan
lewat panggung peradilan kiranya perlu dibuka untuk dapat mengoreksi terhadap
segala kemungkinan perbuatan atau kinerja (performance)
yang kurang baik. Menegakkan 10 nilai pengadilan yang ideal diantaranya :
persamaan di depan hukum (equality before the law), keadilan, imparsial
(tidak memihak), membuat keputusan yang independen (tanpa campur tangan
pihak luar), kompetensi, integritas, terbuka, mudah diakses, tepat waktu, dan
memiliki kepastian. Kemuanya diperlukan adanya kehendak yang baik (good will).
Syarat
mengajukan peninjauan kembali
Pada pembahasan sebelumnya mengenai Peninjauan
Kembali sebagai suatu upaya hukum, syarat mengajukan Peninjauan Kembali sudah
dijelaskan. Tetapi, syarat Peninjauan Kembali tersebut dari ketentuan yang
dibuat oleh Mahkamah Pidana Internasional. Sedangkan syarat mengajukan Peninjauan
Kembali di Indonesia tertuang dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1), 264 ayat (1) dan
268 ayat (3) sebagai syarat formil dan 263 ayat (2) sebagai syarat materiil.[12]
Terdapat tiga syarat formil dalam Pasal
263 ayat (1) secara terbatas (limitatif), tidak terpisah (kumulatif) dan sangat
tegas untuk mengajukan permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali berdasarkan
KUHAP, yaitu :
1.)
permintaan
Peninjauan
Kembali hanya terhadap putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);
2.)
hanya
terpidana atau ahli warisnya yang boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali; dan
3.)
boleh
ajukan Peninjauan Kembali hanya terhadap putusan yang
memuat pemidanaan, artinya bukan putusan bebas (vrijspraak) atau lepas
dari segala tuntutan hukum (ontslag van
alle rechtsvervolging).
Rumusan
norma yang demikian bersifat tertutup, tidak boleh ditambah oleh Hakim melalui
penafsiran meskipun dengan alasan mencari untuk menemukan hukum[13]. Menggali untuk menemukan
hukum juga tidak sama artinya dengan menciptakan atau membuat hukum (baru), seperti
yang dipraktekkan Mahkamah Agung dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263
ayat (1) KUHAP karena menafsirkan terhadap kata-kata yang sudah jelas sekali,
sama artinya dengan penghancuran (interpretation
est perversio).[14]
Menurut O.C. Kaligis Ketentuan Pasal 263
ayat (1) tersebut sangat jelas dan tegas sehingga tidak dapat ditafsirkan lagi,
sesuai dengan adagium interpretation
cessat in claris. Jika teks/kata-kata atau redaksi dalam Undang-Undang
telah terang dan jelas, maka tidak diperkenankan untuk ditafsirkan.[15] Bahwa Peninjauan Kembali
semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana dan ahli warisnya. Ini pula
yang menjadi jiwa terbentuknya Lembaga Peninjauan Kembali.[16] Selanjutnya dalam Pasal
264 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa “permintaan Peninjauan Kembali diajukan
kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama
dengan menyebut secara jelas alasannya”. Kemudian dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP
menjelaskan bahwa permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja.
Mengenai syarat materiil pengajuan Peninjauan
Kembali tercakup dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dimana Permintaan Peninjauan Kembali
dilakukan atas dasar :
a.)
apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.)
apabila
dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa suatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan
c.)
apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal
263 ayat (2) KUHAP lebih tepat disebut sebagai syarat-syarat pilihan
(alternatif) agar permintaan Peninjauan Kembali dapat diterima dan dibenarkan
oleh Mahkamah Agung, yaitu (a) adanya keadaan baru (novum), (b) ada
beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van rechtspraak),
dan (c) putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau kekeliruan
nyata.[17] Dengan tetap mengikuti
ketentuan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti sesuai ketentuan dalam Pasal
183 KUHAP, yaitu : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.
Pasal 263 ayat (3) KUHAP menjelaskan
“Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan PK apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.”
Menurut Sidabutar, ketentuan ini kurang
masuk akal. Alasan bahwa dengan telah dibebaskan oleh putusan semula, apakah
mungkin orang itu mengajukan PK, mengingat PK hanya boleh dimintakan oleh
terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan yang mempidana saja?.[18] Namun apabila kita hendak
menghormati para pembuat Undang-Undang dengan menganggap ketentuan Pasal 263
ayat (3), maka itu tidak lain untuk memperbaiki pertimbangan hukum putusan
semula dan bukan untuk mengubah atau merevisi amar putusan bebas menjadi
dipidana.[19]
Sedangkan menurut Andi Hamzah, ketentuan ini hanya berarti untuk rehabilitasi
nama terdakwa belaka karena delik yang dilakukan ringan dan telah memperbaiki
diri.[20]
[1] Parman Soeparman, Pengaturan Hak
Mengajukan Upaya Hukum dalam Perkara Pidana bagi Korban Kejahatan, Bandung:
Refika Aditama, Bandung, hlm.17
[2] Andi Sofyan, Op.cit., hlm. 8-9
[3] J.C.T Simorangkir dkk, Op.cit., hlm.
64
[4] Adami Chazawi, Op.cit, hlm.1
[5] Parman Soeparman, Op.cit., hlm.9
[6]
Ibid, hlm. 8-9
[7] Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm. 136
[8] Article 84 of The Rome Statute of
International Criminal Court (17 july 1998) diakses dari www.icc-cpi.int/nr/.../rome_statute_english.pdf
[9] Osman Simanjuntak, Teknik
Penuntutan dan Upaya Hukum, Grasindo, Jakarta, 1995, hlm.179-180
[10] Soerjono Soekanto dan Purnadi
Purbacaraka, Renungan Tentang Filsafat
Hukum, Jakarta: Rajawali, 1982.
[12] Leden Marpaung, Perumusan Memori
Kasasi dan Perkara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. hlm.74-76
[13] Adami Chazawi, Op.cit.,
hlm.26
[14] A. Zainal Abidin, 1997, Opini : “Seputar
PK Perkara Pidana”, Republika Online (Sabtu, 18 Januari 1997), diakses dari
www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/01/18/0119.html
[15] Ibid., hlm.8
[16]
Ibid
[17] Adami Chazawi, Op.cit.,
hlm.61
[18] Ibid., hlm. 91
[19] Ibid., hlm. 93
0 komentar:
Posting Komentar