Posted by Unknown on Sabtu, Desember 15, 2012 in Cerpen | No comments
HALTE
Langit sore terlihat
semakin gelap, matahari tampaknya sudah siap-siap kembali ke peraduannya. Sore
itu aku berjalan menyusuri trotoar sambil sesekali aku melihat gedung-gedung
yang megah dan besar. Setelah bekerja seharian rasanya aku perlu menghirup
udara segar oleh karena itu aku sengaja memilih berjalan kaki daripada menaiki
kendaraan umum. Jarak antara rumah dan tempat kerjaku tidaklah begitu jauh
sehingga aku terbiasa berjalan kaki baik saat berangkat kerja dan pulang kerja.
Sebenarnya ada alasan
lain yang membuat aku lebih memilih berjalan kaki ketimbang naik kendaraan
umum. Alasannya Halte bus di seberang tempatku kini berdiri. Bukan, bukan hanya
halte tapi karena pria itu. Pria yang kulihat sering duduk di halte
Sudah sering sekali
aku melihatnya duduk di halte bus. Awalnya kukira ia sedang menunggu bus namun
setelah aku perhatikan ia tidak menaiki bus satupun yang berhenti di depan
halte. Setiap hari ia duduk sampai matahari terbenam dan pergi meninggalkan
halte. Dari setiap gerak-geriknya sepertinya ia sedang menunggu seseorang,
mungkin kekasihnya. Namun lama-kelamaan aku mulai tertarik kepadanya dan mulai
sering memperhatikannya. Pria yang sering duduk di halte ini cukup tampan. Ia
mempunyai mata yang tajam berwarna coklat, hidungnya mancung khas orang asia, dan
bibirnya, oh kecil mungil sangat pas sekali dengan bentuk wajahnya. Namun
sejauh pengamatanku wajah pria tidak sedikitpun menunjukan keceriaan. Jika saja
ia menampakan senyumannya sedikit saja mungkin ia akan lebih terlihat tampan.
Keesokan harinya aku
melihatnya kembali duduk disana dan seperti biasa ia tidak menaiki satu bus pun
yang beberapa kali berhenti di depan halte. Kulihat ia beberapa kali melihat
jam tangannya dan kembali menatap kosong ke arah jalan. Aku berpikir tidakkah
ia bosan menghabiskan waktu dengan melihat jalan dan memperhatikan kendaran
yang berlalu lalang. Suatu saat aku ingin sekali menyapa dan menanyakan hal ini
kepadanya. Entah kapan? Aku sendiri tak tahu karena aku tidak mempunyai
keberanian untuk mendekatinya.
Tanpa aku sadari
ternyata aku pun sama seperti dirinya. Setiap hari kuhabiskan waktu untuk
menunggunya dan memperhatikannya duduk
di halte. Aku memandangnya dari seberang jalan tepat sejajar dengan halte
dimana ia berada. Wajah kami seperti berdekatan satu sama lain meski kami
berjarak cukup jauh karena dipisahkan oleh jalan raya. Aku tidak yakin namun
kurasa ia tidak pernah merasakan kehadiranku.
Entah mengapa aku
menangkap sesuatu yang aneh pada dirinya. Semenjak aku melihatnya, ia selalu menggunakan baju yang
sama, setelan kemeja warna biru dan celana hitam.
Semakin hari rasa
penasaranku semakin bertambah. Akhirnya aku putuskan untuk menghampirinya.
‘Hai…’ aku berusaha
menyapanya sambil tersenyum
Namun ia sama sekali
tidak menoleh kepadaku. Aku tidak menyerah lalu kucoba menyentuh pundaknya dan
akhirnya dia menoleh. Tatapan matanya membuatku kaget. Saat matanya beradu
dengan mataku rasanya tubuh ini ditarik oleh sebuah mesin waktu.
Aku seperti dilempar
ke suatu tempat yang tidak asing lagi. Aku berada di sebuah halte dan aku
melihat pria itu sedang duduk disana. Pria itu sepertinya membawa sebuah kotak
kecil berwarna merah jambu. Dia duduk dengan sedikit gelisah dan gugup. Di
seberang sana aku lihat seorang wanita berjalan menuju kearahnya sambil
melambaikan tangannya. Wanita itu tampaknya tidak asing bagiku.
Aku terkaget saat
menengok kearah kaca sebuah mobil dan melihat bayanganku sendiri. Ternyata
wanita itu adalah aku. Memori ingatanku perlahan mulai kembali meski membuat
kepalaku sedikit sakit. Aku ingat pria itu adalah Kiev, pacarku sendiri.
Tiba-tiba terdengar
sebuah jeritan keras….
‘Aaaaaaaaarrggggghhh’
‘Kiraaaannnnn’
Jantungku rasanya terhenyak
saat melihat seorang wanita dengan bersimbah darah tergeletak ditengah jalan.
Seorang pria segera merangkul dan merebahkan kepala wanita itu dipangkuannya.
Pria itu menangis sejadi-jadinya sampai ia pun tidak sadarkan diri.
Air mataku terus
mengalir tiada henti. Aku ingat kejadian itu adalah dimana aku dan Kiev akan
pergi makan malam romantis sekaligus merayakan satu tahun hubungan kita.
Kebahagiaanku akan malam romantis dan keinginanku untuk segera pergi dengannya
membuatku tidak melihat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menuju ke arahku.
Seluruh tubuhku
rasanya remuk saat menyadari bahwa aku sudah meninggal. Aku sedih bercampur
marah pada diriku sendiri karena telah membuat seorang aku cintai menderita
atas kepergianku. Kiev maafkan aku karena telah membuatmu menjadi seperti ini.
Meskipun kini aku tak bisa bersamamu namun hatiku selalu bersamamu.
Sejak saat itu,
orang-orang yang sering menunggu bus di halte itu sudah merasa tidak aneh
melihat seorang pemuda duduk di halte seperti sedang menunggu seseorang yang
tak kunjung datang atau bahkan tidak akan pernah datang.
……………….
0 komentar:
Posting Komentar